Oleh : H. M. Rizal Akbar
Salah satu dari tujuan pembangunan ekonomi dalam perspektif ekonomi
Islam adalah terciptanya keadilan distribusi. Artinya, pencapaian minimal dalam
pembangunan adalah terpenuhinya hak dasar kebutuhan ekonomi individu
masyarakat, sebagai jaminan pemeliharaan maqâshid
syari’ah, yang terdiri dari lima maslahat pokok, berupa keselamatan agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta manusia, sebagai hak setiap individu. Tidak
terpenuhinya hak dasar kebutuhan ekonomi disebabkan buruknya distribusi, Akan
menimbulkan problem ekonomi, yang jauh dari pengertian kondisi sejahtera.
Al Syatibi (dalam Chapra, 2000) menganggap bahwa tujuan syariah (maqâshid syari’ah) adalah kemaslahatan
umat manusia. Kemaslahatan, dalam hal ini, diartikannya sebagai segala sesuatu
yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia, dan perolehan
apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektual nya,
dalam pengertian yang mutlak.
Kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok
kehidupan manusia dapat dikembangkan, dijaga dan dilestarikan, yaitu agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta.
Al Ghazali
(dalam Chapra, 2000) mengungkapkan bahwa tujuan utama dari syariah adalah untuk
mendorong kemaslahatan (kesejahteraan) manusia yang mana terletak pada
pemeliharaan agama, hidup, akal, keturunan dan kekayaan. Selanjutnya, segala
sesuatu yang melindung lima unsur kepentingan publik tersebut maka dianjurkan
dilakukan. Dan sebaliknya, segala sesuatu yang mengancamnya adalah harus
dihilangkan.
Al Ghazali kemudian membagi tingkatan kebutuhan manusia menjadi tiga
tingkatan, yaitu dharûriyât, hajiyât dan tahsiniyât. Dharûriyât
adalah merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia
di dunia dan akhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan
manusia (agama, hidup, akal, keturunan dan harta). Pengabaian terhadap kelima
unsur pokok tersebut akan mengancam eksistensi kehidupan manusia dan akan
menciptakan kerusakan di muka bumi dan kerugian di akhirat. Dan pemeliharaan
dan pelestarian terhadap kelima unsur pokok tersebut akan mewujudkan
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup manusia (Rama ed.al, 2013).
Dalam pada itu, pembangunan
manusia dan kesejahteraan manusia memiliki arti penting dalam konsep
pembangunan Islam. Mengacu pada pandangan Al-Ghazali diatas, maqâshid syari’ah sebagai tujuan syariah
adalah untuk mengupayakan kesejahteraan seluruh umat manusia, dengan tugas
pokok dalam menjaga iman, jiwa manusia, kecerdasan mereka, keturunan mereka dan
harta kekayaan mereka. Akibatnya, perkembangan manusia dalam perspektif Islam
harus didasarkan pada maqâshid syari’ah.
Dengan demikian
sudah sepantasnya maqâshid syari’ah dapat dijadikan acuan utama dalam derap
langkah pembangunan yang dijalankan terutama bagi negara Islam atau negara
dengan mayoritas penduduk beragama Islam seperti di Indonesia. Ukuran-ukuran
dan pendekatan pembangunan yang dianjurkan oleh teori-teori pembangunan
konvensional sampai saat ini ternyata belum mampu mengukur pembangunan secara
tepat. Keterbatasan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) dalam menangkap semua fenomena pembangunan mengakibatkan pendekat
menjadi tidak komperhensif dan selalu salah sasar. Fenomena bahwa kebutuhan
manusia lebih luas dari apa yang terukur pada kesehatan, pendidikan dan
pendapatan sebagaimana indikator komposit IPM, menyebabkan muncul berbagai
ukuran baru yang berupaya mendekatkan kinerja pembangunan dengan apa yang
sesungguhnya. Para ilmuwan muslim melalui pendekatan maqâshid syari’ah, mencoba merumuskan ukuran baru dalam mengukur
kinerja pembangunan tersebut.
Beberapa indeks telah
dikembangkan sebagai variasi atau alternatif yang mungkin untuk IPM lebih umum
digunakan untuk mengukur kesejahteraan manusia dalam proses pembangunan,
seperti Indeks Kualitas Hidup, Indeks Kebahagiaan dan sebaginya, sangat sedikit
yang berusaha untuk mengintegrasikan aspek religius pembangunan yang
mencerminkan kesejahteraan rohani yang telah diakui sebagai komponen penting
dalam pembangunan. Etika-Augmented
Indeks Pembangunan Manusia (E-IPM) oleh Dar (2004), Islamic Index Pembangunan Manusia (I-HDI) oleh Anto (2009) dan Indeks IslamCity (I 2) oleh Rehman dan Askari (2010) serta
Integrated Development Index (I-DEX) oleh Ruzita Mohd Amin (2012).